gagal nafas
MANAJEMEN
GAGAL NAFAS AKUT DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD)
Gagal nafas pada pasien yang memerlukan perawatan di
ICU (intensive care unit) merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas. Sebelum pasien di rawat di ICU biasanya
pasien akan melalui UGD di suatu rumah sakit dan penanganan pertama pasien di
UGD inilah yang akan menentukan prognosis pasien sebelum di rawat di ICU.
Penyebab gagal nafas pada pasien ini biasanya sekunder karena kelainan paru
seperti pneumonia, sepsis, gagal jantung atau kelainan neurologis. Tentu saja
gagal nafas melibatkan berbagai macam patologi (Neema, 2003).
Sistem pernafasan melakukan fungsi penting dalam
pertukaran gas. Oksigen (O2) diangkut melalui jalan nafas atas ke
alveoli yang kemudian akan berdifusi melalui membrane alveolo-kapiler dan
memasuki pembuluh darah kapiler. Di dalam darah, O2 akan berikatan
dengan haemoglobin dan kemudian diangkut oleh peredaran darah arterial ke
jaringan. Di dalam jaringan O2 digunakan untuk membentuk ATP (Adenine Triphospate) yang sangat penting
untuk semua proses metabolik. Produk utama metabolism seluler yaitu CO2,
akan berdifusi dari jaringan ke darah kapiler, dimana sebagian besar akan
dirubah menjadi asam karbonat dan akan diangkut ke paru melalui darah vena. Di
paru, CO2 berdifusi dari pembuluh darah paru ke alveoli dan akan dibuang
ke atmosfer (ekspirasi). Pertukaran gas yang menyesuaikan dengan kebutuhan metabolik
ini sangat penting untuk mempertahankan homeostasis (milieu interna) (Kreit dan
Rogers, 1995)
Proses respirasi dilakukan dan diatur oleh struktur
yang rumit. Struktur tersebut adalah: (1) Paru yang menyediakan permukaan
pertukaran gas, (2) Jalan nafas sebagai penghantar udara keluar masuk paru, (3)
Dinding dada yang bertindak sebagai bellow,
mendukung dan melindungi paru, (4) Otot-otot pernafasan yang menghasilkan energi
yang penting untuk pergerakan udara keluar masuk paru, dan (5) pusat pernafasan
dengan reseptor yang sensitif beserta saraf penghubungnya, yang bertugas mengontrol
dan mengatur ventilasi (Papadakos,
2002).
Menurut Kreit
dan Rogers (1995) berbagai proses patologis dapat
mengenai setiap komponen fungsional tersebut. Interaksi sistem kardiopulmoner,
saraf dan muskuloskeletal dapat terganggu oleh berbagai penyakit, pembedahan
atau obat anestesi. Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai kegagalan kapasitas
pertukaran gas yang signifikan pada sistem pernafasan. Biasanya gagal nafas
merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD), gagal
nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata dalam
bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran CO2
(hiperkapnea, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi
tersebut. Fungsi paru yang lainnya yang bukan merupakan fungsi pernafasan yaitu
fungsi metabolik, sekresi dan imunologis. Fungsi-fungsi tersebut tidak
dibicarakan dalam referat ini.
Referat ini bertujuan untuk mereview fisiologi
pernafasan dan mekanisme patofisiologi yang memicu terjadinya gagal nafas dan
penanganannya.
FISIOLOGI
RESPIRASI
Pertukaran gas antara lingkungan dan pembuluh darah
kapiler paru merupakan respirasi eksterna. Unit fungsional paru terdiri dari
alveolus dengan anyaman kapilernya. Banyak faktor yang mempengaruhi pertukaran
udara dari lingkungan ke alveoli (ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru
(perfusi). Hukum Henry menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas
atmosfer, kesetimbangan parsial gas mengikuti antara molekul gas terlarut dalam
larutan dan molekul gas di atmosfer. Konsekuensinya, tekanan parsial O2
dan CO2 yang meninggalkan kapiler paru (darah vena paru) adalah sama
dengan tekanan parsial O2 dan CO2 yang masuk ke alveoli
setelah tercapai kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, tekanan parsial O2
dan CO2 dihasilkan dari kesetimbangan dinamik antara deliveri O2
ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus, dan deliveri CO2
ke alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Deliveri O2 ke alveolus berhubungan
langsung dengan kecepatan aliran masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang
dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi; FIO2).
Pada umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan
peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi.
Ekstraksi O2 dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan
kuantitas haemoglobin darah yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada
haemoglobin dalam pembuluh darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2
ke jaringan (cardiac output) dan
ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb
yang lebih rendah terdapat dalam darah yang diperfusi ke kapiler paru sebagai
akibat cardiac output yang rendah dan
atau peningkatan metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang tinggi di
alveoli dan kesetimbangan tekanan parsial O2 yang rendah. Dengan
cara yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi darah paru juga akan
meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini kadang
kurang begitu penting. Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih
lanjut dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam pembuluh kapiler
paru. Seperti telah disebutkan sebelumnya tekanan parsial CO2 dalam
alveolus karena kesetimbangan dinamik antara CO2 yang diangkut ke
dalam alveolus dan CO2 yang keluar dari alveolus. Jumlah dan tekanan
parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan meningkatnya metabolism
jaringan dan dengan adanya cardiac output
yang rendah (CO2 yang dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam
jumlah yang sedikit dalam darah vena) (Shapiro
dan Peruzzi, 1994).
Ventilasi dan
perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam distribusi ventilasi
dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah pulmoner adalah
cardiac output, tekanan arteri
pulmonalis, gravitasi, postur dan interaksi tekanan arteri pulmonalis dengan
tekanan jalan nafas dan tekanan vena pulmonalis. Secara umum, perfusi lebih
banyak di basal paru dibanding dengan di apeks dan perbedaan ini meningkat dengan
penurunan cardiac output, hipotensi
dan dengan aplikasi pemberian ventilasi tekanan positif. Distribusi ventilasi
dipengaruhi oleh gradient tekanan tranpulmoner (TPP=Transpulmonary Pressure) regional dan perubahan TPP selama
inspirasi. Pada umumnya volume alveolar lebih besar di daerah apeks dibanding
dengan daerah basal dan ventilasi lebih banyak di daerah apeks dari pada di basal.
Secara teori, pertukaran gas yang paling efesien akan terjadi jika perbandingan
(match) yang sempurna antara
ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O2
dan CO2 yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh
kapiler yang melewatinya, utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada
alveolus tersebut (West ,1977).
Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional
tersebut dapat berada dalam salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (Gambar.
1): (1) Unit normal dimana ventilasi dan perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space
dimana alveolus terventilasi normal tetapi tidak ada aliran darah pada
kapiler.; (3) Unit shunting dimana alveolus
tidak terventilasi tetapi ada aliran darah normal melalui kapiler; dan (4) Unit
silent dimana alveoli tidak
terventilasi dan tidak ada perfusi juga. Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q)
utamanya disebabkan oleh karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai dengan unit shunting. (Gambar 2).
Gambar 1. Hubungan ventilasi-perfusi
(Nemaa, 2003)
Gambar 2. Spekrum hubungan ventilasi-perfusi
SHAPE
\* MERGEFORMAT
(Nemaa, 2003)
Paru-paru terdiri dari jutaan alveoli dengan anyaman
kapilernya. Pada keadaan sehat dan sakit hubungan ventilasi-perfusi dapat
berada dalam berbagai kombinasi. Pendek kata, tekanan parsial O2 dan
CO2 dalam pembuluh darah arteri secara nyata mencerminkan jumlah
total dari efek semua faktor yang telah diuraikankan dimuka (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Pengaruh
Ketidakseimbangan antara Ventilasi-Perfusi
Tekanan parsial O2 dan CO2
pada tiap alveolus ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi (VA/Q) pada alveolus
tersebut. Ketika rasio ventilasi-perfusi turun, tekanan parsial O2
turun dan tekanan parsial CO2 meningkat pada pembuluh darah yang
meninggalkan alveolus dan se sebaliknya jika rasio ventilasi-perfusi meningkat
(gambar 2). Setiap keadaan/proses patologis yang mengenai jalan nafas, parenkim
paru, dan pembuluh darah paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi dan akan menyebabkan area dengan rasio ventilasi-perfusi abnormal (Papadakos, 2002).
Derajat kegagalan pertukaran gas tergantung pada
nilai ventilasi-perfusi dan bentuk distribusinya. Sangat penting disadari bahwa
hipoksemia dan hiperkapnea berasal dari daerah yang rasio ventilasi-perfusinya
rendah. Bagian/area dengan rasio ventilasi-perfusi yang tinggi tidak mempunyai
pengaruh yang buruk pada tekanan gas darah arteri, namun akan meningkatkan
jumlah ventilasi yang sia-sia (efek dead
space). Bagian paru dengan ventilasi-perfusi rendah menyebabkan tekanan
parsial O2 yang rendah di pembuluh vena pulmonalis. Bagian paru
dengan ventilasi-perfusi tinggi menyebabkan tekanan parsial O2 yang
tinggi pada pembuluh vena pulmonalis, tetapi bagian paru dengan
ventilasi-perfusi rendah dan tinggi tersebut tidak saling menyeimbangkan satu
dengan lainnya karena 2 alasan berikut: 1) Area dengan ventilasi-perfusi yang
rendah umumnya menerima lebih banyak aliran darah dari pada area dengan
ventilasi-perfusi tinggi, 2) karena kurva disosiasi haemoglobin tidak linier
sehingga tekanan parsial O2 yang lebih tinggi pada pembuluh darah di
daerah ventilasi-perfusi tinggi tidak berarti bahwa secara proposional akan
meningkatkan saturasi haemoglobin dan O2 content dan oleh karena itu
hanya sedikit O2 tambahan ke pembuluh darah yang meninggalkan area
dengan ventilasi-perfusi tinggi tersebut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa
alveoli yang mengalami perfusi tanpa ventilasi merupakan suatu unit shunting (gambar. 1 C) darah vena lewat
unit ini tanpa mengalami perubahan. Ini merupakan shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri dan menyebabkan
hipoksemia dengan bertambahnya darah vena ke darah arteri. Ventilasi-perfusi
mismatch biasanya tidak menyebabkan peningkatan tekanan parsial CO2
karena stimuli kemoreseptor meningkatkan menit ventilasi untuk mempertahankan
tekanan parsial CO2 dalam range normal. Namun, peningkatan tekanan
parsial CO2 akan terjadi jika peningkatan ventilasi terbatas oleh
karena depresi respirasi, disability
neuromuskuler atau WOB (work of breathing)
yang berlebihan (Nemaa, 2003).
Pengaruh
saturasi haemoglobin yang rendah dalam pembuluh kapiler (vena) pulmoner.
Cardiac
output yang rendah dan peningkatan metabolism jaringan
merupakan penyebab rendahnya saturasi haemoglobin. Saturasi haemoglobin normal
dalam mixed venous yang memperfusi
kapiler paru adalah 75%. Saturasi haemoglobin yang rendah tidak mempengaruhi
oksigenasi dalam alveoli jika ada ventilasi yang adekuat. Namun, ventilation-perfusion mismatch akan
terjadi jika cardiac output rendah.
Saturasi haemoglobin yang rendah menyebabkan arterial hipoksemia melalui 3
mekanisme: pertama, darah yang
meninggalkan area dengan ventilasi-perfusi rendah akan menyebabkan darah
mempunyai tekanan parsial O2 yang rendah karena kesetimbangan
tekanan parsial yang rendah (haemoglobin dengan saturasi yang rendah akan melepas
lebih banyak O2 sebelum menjadi tersaturasi, dengan demikian
menurunkan tekanan parsial dialveolus), kedua,
efek dari unit shunting akan meluas
akibat saturasi darah vena yang rendah, dan ketiga,
penurunan arterial O2 content selanjutnya akan menyebabkan penurunan
suplai O2 ke jaringan, jika konsumsi O2 jaringan tetap
tidak berubah. Jadi jelas bahwa adanya cardiac
output yang rendah akan menyebabkan efek ventilasi perfusi rendah dan adanya
area shunting (Nemaa, 2003)
Evaluasi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Berat ringannya ketidakseimbangan ventilation-perfusion
mungkin bisa diperkirakan dari beberapa pengukuran yang berdasarkan persamaan
gas alveolar ideal yang menggambarkan campuran gas alveolar dengan tidak adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Tekanan parsial O2 Alveolar (PAO2)
dihitung dari persamaan modifikasi gas alveolar:
PAO2
= (PB – PH2O) FIO2 – PaCO2/R,
Dimana
PB adalah tekanan barometer, PH2O merupakan tekanan uap air dalam
alveoli, R adalah respiratory quotient,
and PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteri.
Cara pengukuran yang berbeda yang biasa digunakan
dalam praktek klinik untuk mengevaluasi ketidakseimbangan ventilasi perfusi
yaitu:
1.
Perbedaan tekanan parsial O2 alveolar-arterial (PAO2 – PaO2),
2.
Pengaruh Venous admixture atau shunting: Qva/Qt = (Cc’O2 –
CaO2)/(Cc’O2 – CvO2)
Dimana Qva adalah venous admixture, Qt adalah cardiac output; Cc’O2, CaO2,
dan CvO2 adalah masing-masing kandungan O2 dalam pembuluh
kapiler yang ideal (darah meninggalkan alveoli dengan matching yang sempurna antara ventilasi-perfusi), kandungan O2
dalam arteri dan kandungan O2 dalam mixed venous blood. Perhitungan venous
admixture pada 100% tekanan O2 inspirasi (FIO2=1) menghilangkan
kontribusi unit ventilasi-perfusi rendah dan mengukur fraksi shunting sesungguhnya (Qs/Qt).
3.
Pengaruh dead space, yaitu volume
udara inspirasi yang tidak ikut dalam pertukaran gas.
Vd/VT = PaCO2 – PECO2/PaCO2
Dimana Vd adalah wasted
ventilation; dead space, VT adalah
volume tidal, PaCO2 dan PECO2
adalah tekanan parsial CO2 dalam arteria dan mixed exhaled gas. Sayangnya, kegunaan klinik dari ketiga
pengukuran tersebut sangat terbatas karena adanya fakta bahwa semua dipengaruhi
baik perubahan menit ventilasi maupun cardiac
output terpisah dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (Nemaa, 2003).
DEFINISI GAGAL NAFAS
Gagal
nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang
tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau
lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup
udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006)
KLASIFIKASI
GAGAL NAFAS
Berdasarkan pada
pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan
kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe
III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003).
Gagal
Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2 dalam
arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi
semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi
O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi
metabolism jaringan dan cardiac output);
(5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matching (Gambar 3).
Gambar
3. Fakor yang mempengaruhi tekanan parsial O2 arteri
(Nemaa, 2003)
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2
arteri yang abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap
kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan
rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat
menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 – PaO2,
venous admixture dan Vd/VT (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Patofisiologi
mekanisme hipoksemia arterial:
A.
Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli
1. Hipoventilasi
2. Penurunan tekanan parsial O2 udara
inspirasi
3. Underventilated
alveoli (areas of low ventilation-perfusion)
B.
Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
C
Penurunan mixed venous O2
content (saturasi haemoglobin yang rendah)
1. Peningkatan kecepatan metabolisme
2. Penurunan cardiac output
3. Penurunan arterial
O2 content (Shapiro dan
Peruzzi, 1994).
Penyebab
gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):
1. Adult
respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic
obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. Pneumothorax
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan
Ventilasi: Arterial Hypercapnia):
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan
efesiensi mekanisme ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan.
Gagal nafas tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi
tranmisi sinyal dari CNS (central nervous
system), atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan
paru dan dinding dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan
parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan
diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh
karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak
berubah (Kreit dan Rogers,
1995)
Penyebab
gagal nafas tipe II:
A.
Kelainan yang mengenai central
ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B.
Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal
ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia
Gravis
2. Amyotrophic
lateral sclerosis
3.
Gullain-Barrè syndrome
4. Spinal
–Cord injury
5. Multiple
sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C.
Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular
dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest
(Kreit dan Rogers,
1995)
Gagal Nafas Tipe III (Gabungan
kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik
hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2).
Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan adanya
peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori
, seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I atau tipe II dapat
menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa,
2003).
Penyebab
tersering gagal nafas tipe III:
1. Adult
respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Chronic
obstructive pulmonary disease (Kreit
dan Rogers, 1995)
Mekanisme
Kompensasi pada Gagal Nafas:
Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan
pasien untuk mengenali adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk
meningkatkan cardiac output dan
ventilasi semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang
berlokasi di arkus aorta dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen
ke otak (Nemaa, 2003).
Penilaian
Fungsi Paru pada pasien Kritis:
Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk
pertukaran gas (hubungan kardiopulmoner) di dalam parenkim paru. Jalan nafas
menyediakan saluran lewatnya udara dari lingkungan ke paru-paru, sistem
neuromuskuler meyakinkan bahwa ventilasi dan parenkim paru menyediakan hubungan
antara ventilasi dan perfusi. Sehatnya parenkim paru dan jalan nafas menentukan
work of breathing (WOB) pada sistem neuromuskuler;
peningkatan WOB akibat penyakit paru dan jalan nafas dapat menekan dan memicu
kegagalan sistem neuromuskuler. Pemburukan fungsi paru pada pasien kritis dapat
disebabkan oleh tidak adekuatnya jalan nafas, parenkim paru, interaksi
kardiopulmoner dan sistem neuromuskuler. Penilaian fungsi paru sangatlah
penting untuk (1) memutuskan apakah bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian
respon terapi, (3) mengoptimalkan manajemen ventilator, dan (4) untuk
memutuskan penyapihan dari ventilator (Nemaa, 2003).
Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering
berfokus pada penemuan auskultasi, namun pertimbangan informasi dapat diperoleh
dari inspeksi yang teliti dan pemeriksaan pola pernafasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju
respirasi, retraksi interkostal dan suprasternal, penggunaan otot bantu
pernafasan, dan pergerakan paradoksal dinding dada mengindikasikan peningkatan
WOB. Terdapat berbagai tes untuk menilai komponen yang berbeda. Pengukuran
resistensi jalan nafas dan komplien paru memberikan evaluasi WOB berdasarkan
komponen neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan kekuatan
otot-otot respirasi memberikan evaluasi terhadap efisiensi komponen
neuromuskuler. Pengukuran tekanan penutupan jalan nafas (airway occlusion pressure /AOP) pada 0.1 detik menggambarkan
hubungan tertutup intensitas dari respiratory
neural drive. (Whitelaw dan
Derenne, 1993).
Tekanan penutupan diukur secara temporer dan
diam-diam menutup jalan nafas selama awal inspirasi dan mengukur perubahan
tekanan jalan nafas setelah 0.1 detik sebelum pasien bereaksi terhadap
penutupan tersebut. Meskipun nilai AOP (Airway
Occlution Pressure) 0.1 menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya
dilaporkan dalam unit tekanan positif, yang pada orang normal selama pernafasan
istirahat adalah 0.93 ± 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1 yang tinggi selama
gagal nafas akut mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan neuromuscular
activity dan jika menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot
inspirasi. Ventilator modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan
nafas, komplien paru dan AOP pada pasien on ventilator. Kekuatan otot dinilai
dengan mengukur tekanan maksimum inspirasi dan ekspirasi (Pimax and Pemax,) yang
dihasilkan akibat penutupan jalan nafas. Pengukuran ini dapat diperoleh dengan
aneroid manometer. Kekuatan maksimal yang dapat dihasilkan oleh otot inspirasi
dan ekspirasi berhubungan dengan panjang inisiasinya. Konsekuensinya pengukuran
ini dilakukan pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru total (total
lung capacity (Pemax)). Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira
masing-masing 111±34 dan 151±68 cm H2O. Nilainya cenderung turun
dengan umur dan lebih rendah pada wanita (Chen dan Kuo, 1989)
Pada pasien rawat jalan dengan penyakit
neuromuskuler tetapi tidak mempunyai penyakit paru, hiperkapnea lebih mudah
berkembang saat Pimax menurun 1/3 dari nilai yang diperkirakan. Sistem
respirasi berjalan terus menerus dan untuk mempertahankan ventilasi, otot-otot
respirasi harus mempunyai ketahan tanpa cepat lelah. Beberapa teknik seperti
pengukuran tekanan transdiafragma, stimulasi nervus frenicus dan penentuan
indeks tekanan-waktu digunakan untuk mendeteksi adanya suatu kelemahan otot (Tobin dan Laghi, 1998).
Ultrasonografi diafragma telah ditemukan untuk
membantu menilai fungsi diafragma. Caranya dengan menilai perubahan ketebalan
diafragma selama inspirasi dan dengan mudah dapat mengenali adanya kelemahan
diafragma (Gottesman dan McCool, 1997).
Kapasitas vital/Vital
capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang sering diukur di ICU.
Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome), pengukuran VC ditemukan
sebagai prediktor gagal nafas beberapa jam sebelum dilakukan intubasi dan turunya VC <15 ml/kgBB mengindikasikan
perlunya dilakukan intubasi (Chevrolet
dan Deleamont, 1991).
DIAGNOSIS
Kriteria Gagal Nafas
Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Diagnosis pasti gagal nafas akut
adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi kadang-kadang diagnosa sudah dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja misalnya apnoe, dalam hal ini tidak
perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat
nafas adalah:
-
Apnoe
-
Batuk berdahak
-
Sianosis
-
Sesak
nafas/dispnoe
-
Perubahan pola
nafas:
o
Frekuensi
menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)
o
Adanya retraksi
dinding dada
o
Penggunaan
otot-otot bantu pernafasan
o
Pernafasan yang
paradoksal
o
Gerakan dinding
dada yang tidak simetris
o
Kelelahan
-
Suara nafas
menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi atau wheezing
-
Takikardia/bradikardia
-
Hipertensi/hipotensi
-
Gangguan irama
jantung
-
Gangguan
kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)
Kriteria Gagal Nafas menurut
Pontoppidan:
Yaitu menentukan kriteria gagal
nafas berdasarkan “mechanic of breathing”,
oksigenasi dan ventilasi seperti pada tabel 1 berikut ini.
Tabel
1. Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan
|
|
Acceptable range
|
Gawat Nafas
|
Gagal Nafas
|
Mechanic of
Breathing
|
-RR (X/menit)
-Kapasitas
Vital (ml/Kg)
-Inspiratory force
(cm H2O)
|
12-15
70-30
100-50
|
25-35
30-15
50-25
|
>35
<15
<25
|
Oksigenasi
|
-AaDO2 (mmHg)*
-PaO2 (mmHg)
|
50-200
100-75
(room air)
|
200-350
200-70
(On mask O2)
|
>350
<70
(On mask O2)
|
Ventilasi
|
-VD/VT
-PaCO2 (mmHg)
|
0,3-0,4
35-45
|
0,4-0,6
45-60
|
>0,6
>60^
|
Terapi
|
|
|
-Fisioterapi
dada
-Oksigenasi
-Close
monitoring
|
-Intubation-tracheotomy ventilation
|
Keterangan: *
setelah pemberian O2 100% selama 15 menit
^ kecuali pada hiperkapnea kronik
(Wirjoatmodjo,
2000)
Dari tabel di atas, kolom paling
kanan menunjukkan gagal nafas yang harus dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy
dan bantuan ventilasi. Fisioterapi, oksigenasi dan monitoring ketat perlu
dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya
ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah mengetahui
keseluruhan keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal nafas
(Wirjoatmodjo, 2000).
Kriteria Gagal Nafas menurut
Shapiro (Rule of Fifty)
Kriteria gagal nafas akut menurut
Shapiro bila:
-
Tekanan parsial
oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,
-
Tekanan parsial
CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.
Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.
Kriteria gagal nafas menurut Petty
adalah:
-
Acute
Respiratory failure:
PaO2 < 50, tanpa
atau disertai kenaikan PaCO2
-
Acute
Ventilatory Failure:
PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo,
2000)
PENATALAKSANAAN
GAGAL NAFAS:
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik
dan kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan
Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non
spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki
pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Penatalaksanaan Gagal Nafas secara
suportif/nonspesifik
a. Perbaiki jalan nafas
b. Bantuan Ventilasi: Face
mask, ambu bag
c. Ventilasi Mekanik
|
(Muhardi,
1989)
Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara
akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan
sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan
pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan
tidak terangsang oleh hipercarbia drive
melainkan terhadap hypoxemia drive.
Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe
(Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi
oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat
karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada
kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan
terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang
dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan
oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino, 2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu
sistem arus rendah dan sistem arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul
merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal
Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt,
dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa
membran menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah
didisain beberapa alat, diantaranya electronic demand device, reservoir
nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan nasal
kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer
blenders. Alat ventury mask menggunakan prinsip jet mixing
(efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat
konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas
tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki
hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus
tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang
umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk
penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
Tabel 3. Cara
pemberian Oksigen
(Sue
dan Bongard, 2003)
Atasi
Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi,
dan pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk
insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT)
berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas
alami (Sue dan Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi,
kerusakan trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan
fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.
Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas
atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi
tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik (Sue dan Bongard, 2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada
apakah oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas
alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas artifisial. Indikasi
intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1 di atas dan juga
tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi
Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a.
Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b.
PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c.
Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit
neuromuskular
|
Secara Klinis:
a.
Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi
jalan napas
b.
Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c.
Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d.
Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
|
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di
atas trakea
|
(Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi
endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap
terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah
ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa
trakea (ventilasi tekanan positif non
invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi:
Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada
keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut
ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi
alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan
PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis
respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis
karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH <
7.25) dan masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang
efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang
lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assist-control atau
synchronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan
kenyamanan pasien (Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas (Tabel 1 dan tabel 4) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas
(gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK
dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk
memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien
yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam.
Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap
hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih
kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan
diagnosis utama, usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih
dari 90 % survive sedangkan pasien kanker kurang dari 10 %. Usia diatas
60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian penyebab
rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi
pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara
umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive
Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan
dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non Invasive Positive
Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping
akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil,
portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa
diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
Terapi
suportif lainnya
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan
bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat
inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan
pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural.
Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator
(Muhardi, 1989)
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik). Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk
inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk
efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali
lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih
besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap
jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada
potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia
adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor,
takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia,
walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik
tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement
ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik (Sue
dan Bongard, 2003).
Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat
ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien
dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia,
palpitasi, dan retensi urin (Sue
dan Bongard, 2003).
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan
agonis beta adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja
fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis
adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi.
Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah
adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang (Sue dan Bongard, 2003).
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid
parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan
psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan
weaning (Sue dan Bongard,
2003).
Ekspektoran dan nukleonik. Cairan
peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum pada
pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk
meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti
kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui
batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas,
terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan
natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning)
dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue dan Bongard, 2003).
Penatalaksanaan
Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi
(terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik
ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit
akan berlainan (Muhardi, 1989).
Semua
terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan
pasien gagal nafas di ICU pada tahap berikutnya.
KESIMPULAN
Gagal nafas di UGD merupakan kondisi medis emergensi
dan benar-benar mengancam jiwa pasien. Berpikir bahwa banyak sekali etiologi
yang berbeda-beda yang berkaitan dengan gagal nafas, pengelolaan awal pada
gagal nafas adalah sama. Pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi yang
mendasari terjadinya gangguan pertukaran gas akan memberikan pemilihan strategi
pengelolaan yang optimal sebelum pasien mendapakan terapi definitif di ICU.
DAFTAR
PUSTAKA
Brusasco
V. Pellegrino R, 2003. Oxygen in the Rehabilitation of Patients with COPD.
America Journal Respiratory Critical Care Med; 168: 1021-2
Chen H-I, Kuo CS.
1989. Relationship between respiratory muscle function and age, sex and other
factors. J Appl Physiol Vol 66: 943.
Chevrolet JC, Deleamont P. 1991. Repeated
vital capacity measurement as predictive parameter for mechanical ventilation
need and weaning success in the Guillain –Barre syndrome. Am Rev Respir Dis, Vol144: 814.
Gottesman E and McCool FD. 1997 Ultrasound evaluation of the paralysed
diaphragm. Am J Respir Crit Care Med,
Vol 155: 1570.
Irwin RS and Mark M. 2006. A
Physiologic Approach To Managing Respiratory Failure. Manual Of Intensive Care
Medicine, 4th Edition; 251-4
Kreit JW and Rogers RM. 1995. Approach to the patient with respiratory
failure. In Shoemaker, Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB Saunders, Philadelphia,Pp 680-7.
Muhardi, OET.
1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit, Bagian Anestesi dan
Terapi Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 1-9
Nemaa PK. 2003.
Respiratory Failure. Indian Journal of
Anaesthesia, 47(5): 360-6.
Papadakos PJ.
2002. Perioperative evaluation of pulmonary disease and function. In Murray MJ,
Coursin DB, Pearl RG, Prough DS (Ed) Critical
Care Medicine. Lippincot-Williams and Wilkins, Philadelphia, Pp. 374-84.
Price
& Wilson. 2005. Gagal Napas : Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
EGC; Edisi 6; Bab 41; 824-37
Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro
BA and Peruzzi WT (Ed) Clinical
Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.
Sue DY and
Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current
Critical Care Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill,
California, Pp. 269-89
Tobin MJ and Laghi F. 1998. Monitoring of the control of breathing. In principles and practice of intensive care
monitoring. Tobin MJ (Ed). New York, McGraw-Hill, Pp. 415-64.
West JB.1977.Ventilation-perfusion
relationships. Am Rev Respir Dis Vol 116:
919-25.
Whitelaw WA, Derenne JP. 1993. Airway occlusion pressure. J Appl Physiol Vol 74: 1475.
Wijoatmodjo, K.
2000 Gawat Nafas Akut: Modul Dasar
anestesiologi dan Reanimasi, DIKTI, DEPNAS, 2000, Hal. 26-34
Komentar
Posting Komentar